Siapa "Guru" yang Sebenarnya? |
A. Pendahuluan
Peningkatan
mutu guru Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu program yang mendapatkan
prioritas dari Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan alasan, antara lain karena
peningkatan mutu guru Pendidikan Agama Islam terkait langsung dengan
peningkatan mutu gurunya. Dengan kata lain, bahwa peningkatan mutu pendidikan
Agama Islam, hanya akan berhasil apabila didukung oleh keberadaan gurunya yang
berkualitas. Di antara program yang dipandang strategis untuk peningkatan mutu
guru PAI adalah dengan program sertifikasi. Yaitu sebuah program yang diarahkan
untuk meningkatkan profesionalisme guru pada kompetensi akademik, pedagogik,
kepribadian dan sosialnya dengan berdasarkan pada penilaian autentik berupa
portofolio yang didukung oleh data-data fisik yang lengkap, valid dan autentik.
Menurut laporan setelah dilakukan evaluasi oleh lembaga yang otoritatif,
ternyata program tersebut belum memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap
peningkatan mutu guru. Program tersebut baru berhasil meningkatkan
kesejahteraan ekonomi para guru, seperti memperbaiki rumah tempat tinggal, memiliki
kendaraan roda empat, dan menunaikan ibadah haji atau umrah. Namun program ini
terus dilanjutkan, dengan cara meningkatkan metode dan pendekatan program
sertifikasi tersebut.
Sementara
itu terdapat pula sejumlah penelitian yang dilakukan sebagian mahasiswa di berbagai perguruan
tinggi terhadap kinerja guru
yang sudah mengikuti program sertifikasi, dengan kinerja guru yang belum mengikuti pelatihan
menunjukkan, bahwa guru yang belum mengikuti program sertifikasi ternyata lebih baik kinerjanya dibandingkan
dengan guru yang sudah mengikuti program tersebut. Pelatihan tenaga guru baru berhasil meningkatkan gizi para
guru, namun belum berhasil meningkatkan mutu guru. Guru yang belum dilatih ternyata
lebih kreatif dan mandiri.
Melihat
keadaan tersebut, maka perlu dicarikan strategi lain yang lebih efektif dalam
peningkatan guru dengan biaya yang ringan, dan waktu dan biaya lainnya yang
lebih ringan. Makalah ini akan mencoba mengemukakan sejumlah gagasan dan
pemikiran yang diperkirakan dapat meningkatkan mutu tenaga guru, dengan
terlebih menerangkan peran dan kedudukan guru. Berbagai data dan informasi dari
berbagai sumber yang otoritatif yang berhasil dihimpun dalam makalah ini akan
dideskripsikan secara sistematik dan komprehensif serta dianlisa dengan pendekatan
sosiologis pedagogis.
B. Pengertian dan Kedudukan Guru
Dalam
Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan, bahwa guru adalah pendidikan
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidik anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai seorang guru, ia harus memiliki kualifikasi akademik berupaja
ijazah jenjang pendidikan akademik yang sesuai dengan jenis, jenjang, dan
satuan pendidikan formal di tempat penugasan, serta tersertifikasi, yaitu bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru sebagai tenaga profesional. Seorang guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi
dimaksud adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus
dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan
tugas keprofesionalannya. Kompetensi guru dimaksud, meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi
pedagogik meliputi (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
(b) pemahaman terhadap peserta didik; (c) pengembangan kurikulum atau silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan
dialogis; (f) pemanfaatan teknologi pembelajaran; (g) evaluasi hasil belajar, dan (h) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Sedangkan
kompetensi kepribadian meliputi: (a) beriman dan bertakwa; (b) berakhlak mulia; (c) arif dan bijaksana; (d) demokratis; (e) mantap; (f) berwibawa; (g) stabil; (h) dewasa, (i) jujur; (j) sportif; (k) menjadi teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (i) secara objektif mengevaluasi kineerja sendiri; dan (m) mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Selanjutnya
kompetensi sosial meliputi: (a) berkomunikasi lisan,
tulisan, dan/atau isyarat secara santun; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan; orang tua
atau wali peserta didik; (d) bergaul secara santun
dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang
berlaku, dan (e) menerapkan prinsip persaudaraan sejari dan
semangat kebersamaan.
Adapun kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai
pengetahuan bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang
diampunya yang sekurang-kurannya meliputi penguasaan: (a) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai
dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok
mata pelajaran yang akan diampu; dan (b) konsep dan metode disiplin keilmuan, teknilogi, atu seni yang
koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran, dan/atau kelompok mata
pelajaran yang akan diampu.
Dengan
demikian terdapat empat kompetensi, dan 28 kemampuan yang harus dimiliki oleh
setiap orang guru. Program Sertifikasi harus memastikan keadaan rincian
kompetensi yang dimiliki oleh guru, dan berusaha memperbaiki, mengembangkan dan
meningkatkannya, jika di antara kompetensi-kompetensi guru tersebut masih
rendah. Dengan cara demikian, maka tugas urtama guru: mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi dapat dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Dan dari kriteria kompetensi tersebut dengan jelas
nampak, bahwa mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan
akan sulit atau tidak akan mampu melaksanakan tugas tersebut.
Dengan
pengertian ini nampak dengan jelas tugas seorang guru, serta kemampuan yang
harus dimiliki agar tugas tersebut dapat dilaksanakan. Namun demikian di sini
perlu dingatkan kembali tentang tugas-tugas guru tersebut. Karena jangankan
orang yang belum memahami kriteria guru profesional tersebut, orang yang sudah
memahami, dan berlatar belakang pendidikan keguruan-pun hanya sampai batas
memahami kriteria tersebut, sedangkan untuk mempraktekannya masih sulit
dijumpai.
Pada
umumnya, seorang guru hanya mengajar, yakni memberikan pengetahuan yang
bersifat wawasan atau pengetahuan yang bersifat kognitif. Sedangkan kegiatan
mendidik yang terkait dengan membentuk sikap mental, kepribadian dan karakter
misalnya sering dilupakan. Demikian pula dengan kegiatan membimbing, mengarahkan dan menilai yang diarahkan pada upaya menumbuhkan
kebiasaan agar mendarah-daging dan mahir tidak pula dilakukan. Karena yang
dikuasai hanya mengajar, maka dalam penilaiannyapun, hanya penilaian pengajaran
dengan membuat pertanyaan benar-salah, pilihan ganda, atau uraian yang bersifat
pengetahuan. Sedangkan evaluasi yang terkait dengan mendidik, membimbing,
mengarahkan dan melatih dengan menggunakan berbagai teknik penilaian, tidak
pula dilakukan.
Khusus
untuk guru pendidikan agama Islam, tugas dan fungsi guru lebih dari itu. Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa bagi seorang guru
muslim hendaknya melakukan komunukasi dan hubungan yang akrab dengan sesama
guru dan para pekerja pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara: (1) membentuk kelompok debat dan diskusi antara
guru dan murid; (2) memilihkan satu bidang ilmu yang cocok bagi
seorang murid; (3) membantu murid untuk mencapai tujuan
pendidikannya dengan jelas; dan (3) memelihara kesanggupan peserta didik dan menolongnya agar
memahami pelajaran.
Sementara
itu Mohd Athiyah al-Abrasyi menyebutkan sifat-sifat
yang harus dimiliki seorang guru pendidikan agama Islam adalah: (1) zuhud, yakni tidak mengutamakan materi dan
mengajar karena mencari keridhaan Allah SWT semata; (2) senantiasa membersihkan diri, yakni bersih
tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar,
sifat ria (mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan dan lain-lain sifat
tercela; (3) Ikhlas dalam pekerjaan, termasuk pula serang
yang sesuai kata dengan perbuatan, melalukan apa yang ia ucapkan, dan tidak malu-malu
mengatakan: “Aku tidak tahu,” bila ada yang tidak diketahuinya; (4) Pema’af. Yakni suka memaafkan muridnya, sangguh
menahan diri, menahan amarah, lapang hati, banyak sabar dan jangan marah karena
sebab-sebab yang kecil; (5) seorang guru merupakan
seorang ayah/ibu sebelum ia menjadi seorang guru. Yakni seorang guru harus
mencintai murid-muridnya seperti cinta oraangtua terhadap anak-anaknya sendiri, dan memikirkan keadan mereka
seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri; (6) harus mengetahui tabi’at murid, yakni
mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran murid agar ia
tidak kesasar di dalam mendidik anak-anaknya., serta (7) harus menguasai mata pelajaran. Dari
ketujuh sifat tersebut sebagian besar berkaitan
dengan kompetensi kepribadian. Sedangkan yang lainnya, yakni menguasai mata
pelajaran termasuk kompetensi profesional, dan kompetensi pedagogik, yakni
harus mengetahui tabi’at murid, agar dapat menyampaikan mata pelajaran sesuai
dengan tabiat murid tersebut.
Sementara
itu, Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa seorang guru
agama agar memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) Senantiasa berpegang teguh kepada ajaran
Rasulullah SW dalam segala bidang, dari berbagai aspek kehidupannya, perjalanan
hidup dan akhlaknya, karena itu wajib baginya agar senantiasa tolong-menolong
dalam kebaikan dan ketakwaan. Hal yang demikian sejalan dengan kedudukannya
sebagai pewaris para nabi; (2) senantiasa menjadi
contoh teladan yang baik bagi para muridnya dalam hal berkata yang benar
(al-shidq), memegang teguh akhlak yang mulia dan melaksanakan syari’at Islam;
(3) menyebar-luaskan ilmunya tanpa malas atau
lalai, karena lalai dalam menyebarkan ilmu sama hanya dengan lalai dalam berjihad, Allah SWT akan menghukum orang yang menyembunyikan ilmu atau
mengabdikannya untuk memperoleh kemewahan dunia, dan dipandang makruh orang
yang menyembunyikan sedikit dari ilmu sehingga ia tidak dapat dipergunakan
dalam berdebat. Seorang guru yang shalih adalah mereka yang mengajarkannya
kepada orang lain; (4) senantiasa memelihara dan mengembangkan
ilmunya dengan cara menghafal dan menambahnya dan tidak melupakannya. Demikian
pula seorang ahli ilmu yang menghafalkannya kepada umat berupa al-Qur’an,
al-Sunnah, baik dalam bentuk matn atau maknanya, disertai pandangan, bahwa menghafal ilmu itu fardhu kifayah bagi umat pada umumnya.
Dengan
adanya sifat-sifat yang melekat pada seorang guru yang demikian itu, maka
adalah wajar jika seorang guru mendapatkan penghormatan yang berbeda dengan penghormatan yang diterima profesi
lainnya. Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa profesi guru merupakan pekerjaan
yang paling mulia di antara seluruh pekerjaan yang dilakukan manusia di muka
bumi. Ia berargumen dengan cara menganalogikan kedudukan profesi dengan objek
yang dikerjakan. Seorang tukang emas lebih terhormat dibandingkan dengan tukang
kulit, karena nilai emas melebihi nilai kulit. Barang yang wujud di permukaan
bumi yang paling mulia adalah manusia, dan bagian yang paling mulia dari
manusia adalah akal dan jiwanya. Sedangkan tugas seorang guru mengembangkan dan
menyempurnakan akal dan jiwanya, menghiasi, menyucikan dan membimbingnya untuk
dapat mendekati Allah Yang Maha agung dan Maha mulia.
Senada
dengan itu, Ibn Khaldun berpendapat, bahwa guru harus menjadi sosok yang pantas
digugu dan ditiru. Ia mengutip pendapat Amr bin Utbah dalam sebuah pesan kepada
salah seorang guru yang mengajar puteranya, dengan mengatakan: “Mulailah dalam upayamu memperbaiki anakku,
dengan lebih dahulu memperbaiki sikap dan perilakumu sendiri. Sebab pandangan
anak-anak itu terikat pada pandanganmu, maka apa yang engkau lakukan akan
dianggap baik bagi mereka, dan apa yang engkau tinggalkan akan dianggap jelek
bagi mereka”.
Dengan
demikian, seorang guru adalah seorang yang pada dirinya terdapat sejumlah
sifat, kepribadian, kecakapan, dan keutamaan lainnya yang dengannya ia dapat
menolong, membantu dan meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan cara menumbuhkan,
menggali, membina dan mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar tumbuh, terarah, berkembang dan terbina dengan sempurna serta dapat
menolong dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Seorang
guru juga adalah mereka yang memelihara, meningkatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya untuk diberikan kepada para peserta didiknya dan masyarakat pada umumnya. Semua peran
dan fungsi ini dilaksanakan dengan amanah, tanggung jawab, panggilan jiwa, dan ibadah semata-mata karena
Allah ta’ala. Dengan demikian, sosok seorang guru itu
adalah sosok yang memiliki ciri khas tersendiri, tidak dapat dimiliki oleh orang lain, serta menempati
kedudukan yang terhormat, karena ia terkait langsung dengan upaya membina
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah ta’ala.
C. Guru yang Bermutu
Terdapat
sejumlah pendapat yang dikemukakan para ahli tentang guru yang bermutu. Jika
mengacu kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, maka
guru yang bermutu adalah guru yang menguasai materi pelajaran dengan mahir,
ahli dan mendalam; mampu menyampaikannya dalam kegiatan pembelajaran dengan
efektif dan menyenangkan; memiliki kepribadian yang mulia dan mampu
menularkannya kepada peserta didik serta memiliki kemampuan berkomunikasi
dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, wali murid dan masyarakat pada umumnya.
Kriterian
guru yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut nampak sudah dianggap final,
dan karena selalu dijadikan dan rujukan dalam menetapkan seorang guru yang
profesional dan bermutu. Yaitu jika keempat kompetensi tersebut bermutu, maka
guru yang profesional itu telah bermutu. Tentu saja, sikap itu sudah benar,
namun belum lengkap. Kriterian guru profesional yang demikian itu masih berada
dalam standar minimal. Sedangkan untuk standard maksimal kriteria tersebut masih dapat
ditambahkan lagi dengan ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, memiliki motivasi dan etos kerja yang unggul yang dapat menggerakan seorang guru untuk bekerja dengan penuh semangat di atas rata-rata kerja biasa. Hal yang demikian, karena kerja guru bukanlah kerja fisik, seperti petani atau tukang, melainkan kerja fisik dan non-fisik yang multi-dimensional. Seorang guru bukan hanya bertugas membina daya cipta (intelektual), melainkan juga daya rasa (emosional) dan karsa (keterampilan). Seorang guru bukan hanya bertugas membina aspek fisik, panca-indera dan akal pikiran, melainkan juga jiwa dan spiritualitas. Seorang guru bukan hanya membina kecerdasan intelektual, matematika, bahasa, melainkan juga kecerdasan spasial, kinestetis, etis, sosial, inter dan intra-personal. Seorang guru bukan hanya bertugas mentrasmisikan ajaran, nilai, pengetahuan, sikap dan keterampilan, melainkan harus bertugas menggali berbagai potensi yang dimiliki peserta didik. Di hadapan guru, peserta didik tak ubahnya seperti lautan yang di dalamnya mengandung mutiara, dan berbagai barang yang berharga lainnya; atau ibarat tanah yang di dalamnya mengandung berbagai kekayaan alam. Untuk itu, seorang guru harus memiliki kekuatan fisik seperti raksasa, pancaindera seperti elang yang dapat terbang tinggi, otak seperti filosof dan hati seperti sufi dan malaikat. Mochtar Buchori berpendapat, bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching. Yaitu guru yang melalui kegiatan mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang memberikan ilham, guru yang baik menghidupkan gagasan-gagasan yang besar, keinginan yang besar pada murid-muridnya, dan bukan sebaliknya malah membonsankan, mengkerdilkan dan membuat peserta didik menjadi pemalu, penakut, minder, rendah diri dan sebagainya. Guna menumbuhkan sikap yang demikian itu, maka seorang guru harus memiliki pandangan yang mengandung etos yang tinggi. Jansen Sinamo mengusulkan 8 etos keguruan sebagai berikut: (1) Keguruan adalah rahmat: Aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur; (2) Keguruan adalah amanah: Aku mengajar dengan benar dan penuh tanggung jawab; (3) Keguruan adalah panggilan: Aku mengajar tuntas penuh integritas; (4) Keguruan adalah aktualisasi diri: Aku mengajar dengan serius penuh semangat; (5) Keguruan adalah ibadah: Aku mengajar dengan cinta penuh dedikasi; (6) Keguruan adalah seni: Aku mengajar dengan cerdas penuh kreativitas; (7) Keguruan adalah kehormatan: Aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan; dan (8) Keguruan adalah pelayanan: Aku mengajar sebaik-baiknya penuh kerendahan hati. Ciri-ciri etos kerja keguruan yang demikian itu sangat cocok untuk seorang guru agama Islam, karena hampir semua ciri-ciri tersebut merupakan dari ajaran dasar dan etika Islam. Keguruan sebagai rahmat misalnya, terkait dengan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Kemampuan intelektual, keilmuan, keterampilan mengajar, kepribadian utama yang dimilikinya, serta kemampuan berkomunikasi sebagai anugerah dari Tuhan. Ajaran tentang rahmat ini misalnya mirip dengan hikmah yang pernah diberikan Tuhan kepada Luqman al-Hakim, dan Lukman kemudian mensyukuri nikmat hikmah tersebut dengan mengajarkan kepada anaknya. Demikian pula keguruan sebagai amanah (sesuatu yang dititipkan untuk diberikan kepada pemiliknya) adalah ajaran agama. Fisik, pancaindera, akal, ilmu, keterampilan, dan lainnya yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah milik Tuhan, dan ketika seorang guru mengajarkannya, maka sesungguhnya ia menggunakan fasilitas Tuhan. Orang yang tidak menunaikan amanah termasuk salah satu ciri orang munafik. Agama memerintahkan manusia agar menyerahkan amanah kepada orang yang terpercaya, serta memiliki wawasan, ilmu dan keterampilan untuk melaksanakannya. Demikian pula tugas keguruan sebagai ibadah juga adalah merupakan ajaran agama. Di dalam agama diajarkan bahwa ibadah bukan hanya yang bersifat mahdhah seperti mengerjakan ritual shalat, puasa, zakat dan haji, melainkan juga melaksanakan segala macam kebaikan atas dasar niat semata-mata karena Allah.
Demikian keguruan sebagai panggilan, aktualisasi diri,
seni, kehormatan dan pelayanan juga sejalan dengan ajaran agama. Karena hal
yang demikian ajaran agama, maka sudah sepantasnya jika guru-guru agamalah yang
menampilkan etos kerja tersebut. Permasalahannya adalah apakah delapan etos tersebut harus ada semuanya pada
semua orang? Tidak cukupkan bila seorang guru mengambil beberapa sifat saja
dari etos keguruan tersebut? Jawabnya adalah idealnya delapan etos tersebut
harus dimiliki, karena antara satu dan lainnya saling berkaitan. Seorang guru
memang harus berupaya untuk mencapai delapan etos tersebut sesuai dengan
kesanggupannya. Etos keguruan tersebut jika didasarkan pada panggilan ibadah,
maka akan terasa ringan.
Sejalan dengan Augusto Cury mendorong agar
seorang guru bukan hanya berpredikat baik, melainkan juga mengagumkan, dengan
ciri-ciri sebagai berikut: (1) Guru yang baik pandai bicara, sedangkan guru
yang mengagumkan tahu cara kerja pikiran; (2) Guru yang baik mempunyai
metodologi, sedangkan guru yang mengagumkan mempunyai kepekanaan; (3) Guru yang
baik mendidik kecerdasan logika, sedangkan guru yang mengagumkan mendidik
emosi; (4) Guru yang baik menggunakan memori sebagai penyimpan informasi,
sedangkan guru yang mengagumkan menggunakannya sebagai pendukung seni berfikir;
(5) Guru yang baik adalah pemimpin sementara, sedangkan guru yang mengagumkan
adalah pemimpin tak terlupakan; (6) Guru yang baik memperbaiki perilaku,
sedangkan guru yang mengagumkan menyelesaikan konflik dalam ruang kelas; dan
(7) Guru yang baik mengajar karena itu adalah pekerjaannya, sedangkan guru yang
mengagumkan mengajar karena itulah tujuan hidupnya. Selain itu seorang
guru juga jangan melakukan tujuh dosa besar, yaitu (1) menegur di depan umum;
(2) memperlihatkan otoritas secara agresif; (3) mengkritik secara berlebihan: menghambat
masa kanak-kanak; (4) menghukum ketika Anda marah dan membuat batasan tanpa
penjelasan; (5) menjadi tidak sabar dan putus asa dalam mendidik; (6) tidak
menepati kata-kata, dan (7) menghancurkan harapan dan impian.
Secara ringkasnya, kriteria guru yang baik
(pandai bicara, mempunyai metodologi, kecerdasan logika, menyimpan informasi,
pemimpin sementara, memperbaiki perilaku, mengajar karena pekerjaannya), dan
guru yang mengagumkan (tahu cara kerja pikiran, mendidik emosi, mempunyai
kepekaan, pendukung seni berfikir, pemimpin tak terlupakan, menyelesaikan
konflik dalam kelas dan mengajar sebagai tujuan hidupnya).
Kedua, guru yang bermutu juga bukan hanya
memandang profesi sebagai pekerjaan yang didasarkan pada pendidikan yang
relevan dengan pekerjaannya, dan bukan pula sebagai pekerjaan yang terus dikembangkan
secara terus menerus, berpegang teguh pada kode etik profesi, bukan pekerjaan
sambilan, melainkan sebagai pekerjaan utama sebagai sumber kehidupan
ekonominya, melainkan profesi yang didasarkan pada panggilan agama. Di dalam agama, profesi juga terkait dengan
sikap yang tidak mencampur-adukan antara urusan pribadi dengan urusan
pekerjaan. Kekecewaan atau kebencian kepada seseorang misalnya, tidak boleh
menyebabkan ia tidak memberikan pelayanan yang baik kepada orang tersebut.
Sikap Abu Bakar al-Shiddiq yang menghentikan gaji pembantunya yang bernama
Misthah yang disebabkan karena Mishthah ikut-ikutan memfitnah Siti Aisyah,
isteri Rasulullah SAW, yang puterinya Abu Bakar itu pernah berselingkuh dengan
shahabat yang bernama Sofwan bin al-Mu’athhal. Abu Bakar ditegur dengan sebuah ayat yang artinya: “Janganlah
kebencianmu pada seseorang menyebabkan kamu tidak berlaku adil kepada orang
tersebut. Maka berlaku adillah, karena keadilan itu lebih mendekatkan kamu kepada
ketakwaan”. Seorang guru yang profesional juga adalah
seorang guru yang berbasis pada riset. Yakni segala sesuatu yang diputuskannya
itu didasarkan pada ilmu dan data yang dimilikinya. Hal ini juga masih terkait
dengan Kasus Siti Aisyah tersebut. Rasulullah SAW tidak cepat-cepat menjatuhkan
hukuman kepada istrinya. Beliau tidak mau terperangkap dalam fitnah dan gosif,
melainkan lebih dahulunya mempelajarinya secara objektif dengan mengumpulkan
data yang lengkap dan akurat. Dan ternyata, langkah yang ditempuh Rasulullah
SAW itu benar adanya. Siti Aisyah ternyata difitnah. Ia tidak melakukan
perbuatan keji yang dituduhkannya itu. Inilah sikap profesional. Selanjutnya
Islam tidak sepenuhnya sependapat dengan ukuran yang bersifat material
sebagai seorang profesional. Islam memandang, bahwa bekerja bukan hanya untuk
uang, apalagi pekerjaan tersebut adalah mendidik atau mengajar. Logika
masyarakat global yang menilai kegiatan pendidikan sebagai bagian dari
komoditas yang dipergagangkan, dan biaya pendidikan sebagai investasi tidaklah
dapat sepenuhnya diterima. Mendidik dan mengajar atau tugas keguruan lebih
merupakan amanah, ibadah, rahmat ilahi dan panggilan jiwa sebagaimana yang
tersebut di atas. Tugas keguruan yang demikian itu telah diperlihatkan pada
pendidikan di pesantren.
Ketiga, seorang guru juga harus mememahami, menghayati dan
mempraktekkan dasar-dasar pokok dalam pendidikan Islam. Muhammad Athiyah
al-Abrasyi, menyebutkan dasar-dasar pokok atau kaidah-kaidah pendidikan itu
sebanyak 7 macam,
yaitu: (1) tidak ada pembatasan umum untuk mulai belajar; (2) tidak ditentukan lamanya seorang anak di
sekolah; (3) berbedanya cara yang digunakan dalam
memberikan pelajaran; (4) Dua ilmu jangan dicampur-adukan; (5) Memperhatikan pembawaan anak-anak alam
beberapa bidang mata pelajaran sehingga mereka dengan mudah dapat mengerti ; (6) Mulai dengan pelajaran bahasa Arab setelah itu pelajaran
al-Qur’an al-Karim; dan (7) Perhatian terhadap pembawaan dan insting anak-anak dalam pemililihan bidang pekerjaan.
Selain itu, juga harus memahami asas-asas yang melandasi kegiatan
pendidikan, atau segala sesuatu yang dibutuhkan untuk keberlangsungan
pendidikan, yait asas ekonomi, asas politik, asas psikologi, asas sosiologis,
asas administrasi, asas historis, dan asas
fisofofis. Hal ini didasarkan pada assumsi bahwa pendidikan adalah sebuah disiplin ilmu yang membutuhkan keterlibatan
ilmu-ilmu lainnya.
Dengan
demikian, secara keseluruhan tugas guru diabdikan bagi kepentingan pendidikan,
pengajaran, pembinaan, bimbingan, pelatihan, dan pengarahan serta menilai
hasilnya dengan seksama. Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka itulah tugas
guru yang sempurna, dan jika tugas-tugas tersebut dilaksanakan dengan
kaidah-kaidah keguruan serta mendapatkan hasilnya yang bermutu pula, berupa
lulusan yang unggul baik dari segi fisik, intelektual, keterampilan, sikap
mental, kepribadian dan akhlaknya yang dibuktikan dengan kelulusan tepat waktu
dengan nilai yang tinggi, diterima di berbagai perguruan tinggi papan
atas baik di dalam maupun luar negeri, serta diterima bekerja di berbagai
perusahaan terkemuka dengan penghargaan dan gaji yang tinggi, serta dikagumi
masyarakat, maka itulah guru yang bermutu.
D. Upaya Meningkatkan Mutu Guru
Selama
ini sudah terdapat sejumlah langkah nyata baik yang dilakukan pemerintah maupun
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu guru. Peran pemerintah dalam
meningkatkan mutu guru antara lain dilakukan melului peningkatan LPTK (Lembaga
Pendidikan Tenaga Keguruan), pelatihan, workshop dan magang keguruan. Sedangkan
yang dilakukan masyarakat polanya hampir sama dengan yang dilakukan pemerintah.
Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang perlu ditingkatkan.
Pertama,
dengan meningkatkan mutu LPTK. Peningkatan mutu LPTK ini dilakukan mulai dari
merekrut mahasiswa calon guru yang bermutu kecerdasannya, ilmu-ilmu dasarnya,
motivasi dan kepribadiannya. Untuk guru agama misalnya dapat direkrut calon
mahasiswa yang hafal al-Qur’an dan hadits, berwawasan luas tentang ilmu agama Islam, memiliki track
record akhlak yang baik, siswa yang berprestasi di sekolah, sepuluh terbaik
lulusan ujian nasional, pernah menjuarai berbagai perlombaan, serta memiliki
motivasi dan panggilan jiwa yang kuat untuk jadi guru yang dilaksanakan melalui
psikotes yang valid. Selain itu, sejak di SMA atau Aliyah sudah mulai ditelesuri bakat dan
minat siswa yang akan menjadi guru, dengan cara memberikan orientasi umum
tentang profesi guru, dan ilmu-ilmu dasar tentang keguruan. Dengan cara
demikian, ketika siswa tersebut sudah menjadi mahasiswa program keguruan sudah lebih siap. Dengan
demikian, mahasiswa calon guru bukanlah mahasiswa yang asal-asalan atau lulus
pas-pasan, serta tidak diketahui dengan jelas motivasi dan panggilan jiwanya
untuk jadi guru. Calon mahasiswa yang unggul ini disertai pula dengan proses
pembelajarannya yang unggul pula. Yaitu dengan merubah pola pembelajaran lama-convensional yang mengandalkan pada
guru yang aktif (active teacher), atau Teacher Centred, kepada model
pembelajaran yang 80 % memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri secara terarah dan
terbimbing, memiliki pengalaman melakukan sesuatu pekerjaan dalam suasana yang
menginspirasi, mengimajinasi, menantang dan menyenangkan. Intinya adalah dengan
menggunakan based practice dengan menggunakan model pembelajaran active
learning, cooperative learning, dan inter-active learning melalui Contextual
Teaching Learning, Problem Based Learning, Project Based Learning, inquiri,
eskperimen, saintific learning, dan semacamnya. Proses pembelajaran ini
juga disertai dengan model penilaian yang bukan hanya aspek kognitif saja,
melainkan juga aspek apetif dan psikomotorik, melalui portofolio, continous
observation, autentic assesment, penugasan, laporan dan sebagainya.
Kegiatan pembelajaran ini juga ditopang oleh sarana dan prasarana belajar yang
memadai, seperti tersedianya lab sekolah, laboratorium micro teaching, media pembelajaran yang
lengkap dan modern. Selain itu, para mahasiswa ini diajak untuk mengobservasi,
yakni mengamati, menyaksikan dan mencatat secara seksama kegiatan pembelajaran
yang dilakukan oleh para guru senior yang sudah ahli dalam bidangnya, sebagai
bahan perbandingan. Setelah itu mereka melakukan kegiatan real-teaching, yakni
mengajar dengan cara yang sesungguhnya pada sekolah-sekolah yang ditentukan,
atau melakukan magang untuk mempraktekan berbagai keterampilan mengajar sesuai
yang direncanakan, seperti kegiatan membuat persiapan mengajar, tata cara
dan etika masuk kelas, membuka pelajaran, mengecek daftar hadir, melakukan
appersepsi, menguraikan dan menjelaskan mata teri ajar secara sistematik, cara
menulis di papan tulis, menggunakan volumen dan intonasi bahasa, membagi
perhatian, mengelola kelas, memotivasi para siswa, mendorong peserta didik
mengajukan pertanyaan, memberikan jawaban, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan,
memberikan laporan, mengevaluasi, menyimpulkan dan menutup pelajaran. Selain
itu sebaiknya, para mahasiswa calon guru tersebut diwajibkan tinggal di Asrama
dalam rangka membentuk kepribadiannya melalui proses interaksi dengan sesama
manusia dan pembimbing, membiasakan shalat berjama’ah, membaca al-Qur’an,
berdo’a, membiasakan berbicara bahasa asing, mempermahir penguasaan teknologi
pembelajaran, berdiskusi, membaca, menulis dan sebagainya. Sementara itu
evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan autentik assesment melalui
penugasan, portofolio, countinous observasion, yang dituangkan dalam bentuk
deskripsi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Khusus untuk pendidikan
profesi keguruan, diusahakan agar dicari lulusan program strara 1 (S1) dari lulusan
terbaik rangking 1 sampai dengan 10 orang. Mereka yang berasal dari lulusan
LPTK seperti Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, agar lebih diperkuat dari
aspek kompetensi akademik dan kepribadinannya; sedangkan mereka yang berasal
dari lulusan non-LPTK seperti Fakultas non-Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, agar
lebih diperkuat dari aspek kompetensi pedagogik, kepribadian dan kompetensi
sosialnnya, sehingga beban SKS (Satuan Kredit Smester) dan waktu tempuhnya juga
agar lebih lama lagi. Sedangkan dari segi sarana prasarana, pendekatan, metode
dan lainnya sama dengan yang digunakan pada mahasiswa LPTK sebagaimana tersebut
di atas. Khusus yang terkait dengan dosen yang mengajar pada pendidikan profesi
keguruan diutamakan para dosen yang memiliki pengalaman sebagai guru di
sekolah. Dengan cara demikian, ia dapat memberikan wawasan dan pengamalannya
sebagai guru, dan kegiatan pembelajaran tidak hanya sebatas berteori, tentang
juga berdasarkan pada pengalaman. Seorang dosen pendidikan profesi keguruan
yang tidak memiliki pengalaman keguruan akan terasa kurang pas, atau seperti
“jeruk makan jeruk.”
Kedua,
guna meningkatkapertn mutu guru yang sudah mengikuti sertifikasi,
hendaknya diupayakan pembinaan secara berkelanjutan. Misalnya dengan cara
menyediakan forum kajian ilmiah, diskusi dan workshop secara periodik. Dalam
satu semester misalnya, setiap guru wajib membaca satu buku yang terkait dengan
bidang keilmuannya. Hasil bacaan tersebut selanjutnya dibawa ke dalam forum
diskusi, seminar, dan sebagainya. Untuk itu kepada setiap guru wajib diberikan
satu buku tiap semester, atau diberikan dana untuk pembelian buku sesuai dengan
bidang ilmu yang diajarkannya. Selain setiap guru juga wajib mengadakan
pelatihan yang terkait dengan tugasnya, misalnya penelitian tindakan kelas, penelitian
kurikulum, penelitian hasil belajar, dan lain sebagainya. Hasil penelitian ini
selanjutnya dituangkan dalam makalah imiah yang siap dipublikasikan dalam
Jurnal Ilmiah. Guna mendukung kegiatan ini, maka kepada setiap guru wajib
disediakan dana untuk pengadaan buku, dan waktu untuk membaca, menulis,
berdiskusi dan sebagainya. Oleh sebab itu, hendaknya dalam satu minggu
diberikan satu hari untuk tidak mengajar, melainkan untuk meningkatkan profesi
keguruannya.
Ketiga,
guna meningkatkan mutu guru, dapat pula dilakukan dengan cara memberikan
wawasan tentang paradigama baru yang berkaitan dengan berbagai aspek
pendidikan, terutama tentang PBM (Proses Belajar Mengajar). Model pembelajaran
yang menggunakan pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific approach) pada
kurikulum tahun 2013 misalnya harus diberikan. Yaitu model pembelajaran yang
mendorong para peserta didik untuk aktif mengambil bagian dalam kegiatan
belajar mengajar, dengan cara mengamati (observasi), menanya (questioning),
mengerjakan (doing), menganalisa (analysing), menyimpulkan (conlution),
dan menciptakan (creating). Untuk berbagai model pembelajaran seperti active
learning, cooperative learning, contextual teaching learning (CTL), problem
based learning (PBL), project based learning (PBL), Quantum Teaching Learning
(QTL), Role Playing, dan sebagainya harus dikuasai baik secara konseptual,
maupun praktikal. Untuk itu pada setiap semester, setiap guru diminta membuat
sebuah disain pembelajaran dengan menggunakan berbagai model dan pendekatan pembelajaran
tersebut di bawah bimbingan seorang tenaga ahli, tutor atau instruktur yang
berpengalaman. Sejalan dengan itu, setiap orang guru juga agar dilatih untuk
menyelenggarakan pendidikan yang berbasis pada alam (sekolah alam), kegiatan
outbond, dan moveable school, home schooling, hipno teaching dan sebagainya.
Caranya adalah dengan melalui magang pada berbagai kegiatan tersebut, atau
dengan cara learning by doing (belajar sambil melakukan sesuatu).
Keempat,
guna meningkatkan mutu tenaga guru dapat pula diberikan pelatihan tentang model
belajar sistem training dengan cara memberikan latihan sebagai tenaga
instruktur yang mampu mengintertaint. Keterampilan sebagai tenaga instruktur
atau motivator dengan menggunakan konsep-konsep tertentu yang diciptakannya
sendiri. Sebagai contoh intruktur atau motivator pada pembelajaran nilai-nilai
kepemimpinan, seperti memahami masalah, merencanakan, merumuskan,
mensosialisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasinya, dengan cara tertentu.
Dalam hal ini dijumpai berbagai model pelatihan yang dikemukakan para ahli.
Mislanya pelatihan instruktur dengan menggunakan konsep The Sixt Hate System
(Sistem Enam Topi). Caranya disediakan enam buah topi masing berwarna putih,
merah, hijau, kuning, hitam dan biru. Pada setiap warna diberikan arti yang
spesifik. Warna putih misalnya melambangkan ketulusan, objektifitas, positif
thingking, dan pikiran jernih. Sedangkan warna merah melambang keberanian,
kesungguhan, berani menempuh resiko yang mengandung bahaya, dan pantang
menyerah. Selanjutnya warna hijau melambangkan kebenaran, keadilan, ketenangan,
kedamaian, dan keharmonisan. Sedangkan warna kuning melambangkan keceriaan,
kebahagian, rela berbagi kesuksesan, berpenampilan ceria, dan senantiasa
gembira. Selanjutnya warna hitam melambangkan tindak kesungguhan, kedalaman
makna, ketegaran dan keteguhan berpegang pada prinsip kebenaran. Sedangkan
warna biru melambangkan kedalaman makna, keluasan pengalaman, dan kesediaan
untuk berbagi pengalaman. Makna dari setiap warna tersebut kemudian dihubungkan
dengan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pimpinan. Pada tahap selanjutnya
perlu diajukan sejumlah pertanyaan atau permasalahan yang membutuhkan pemecahan
segera dengan menggunakan berbagai pemikiran yang terdapat dalam warna
topi-topi tersebut. Misalnya diajukan pertanyaan: “Bagaimanakah cara mengatasi
perparkiran di kampus?” Masing-masing peserta menjawab pertanyaan tersebut
dengan menggukan warna topi tersebut. Apakah dengan pikiran yang terdapat dalam
warna merah, hitam, kuning atau warna lainnya. Hasil jawaban mereka kemudian
dituliskan dalam jurnal atau lembar yang telah disediakan dan dipresentasikan
di hadapan para peserta untuk dimintakan alasan, argumentasi atau reasoning
dari jawaban tersebut.
Kelima, peningkatan mutu guru dapat
dilakukan dengan cara menghidupkan kembali Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun
untuk menghasilkan tenaga guru Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar; Pendidikan
Guru Agama tingkat Atas (PGAA) atau PGA 6 tahun untuk menghasilkan tenaga
guru agama untuk Madrasah Tsanawiyah/Sekolah Lanjutan Pertama (SLP), dan
Program Strata 1 (S1) untuk Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Madrasah
Aliyah/Sekolah Lanjutan Atas (SLA). Dengan cara demikian, seorang calon guru sudah memiliki
dasar-dasar ilmu pendidikan yang memadai dari sejak tingkat Sekolah Lanjutan
Pertama. Hal ini berbeda dengan calon guru tamatan Program Strata 1 (S1) yang
dasar-dasar pengetahuannya tentang ilmu pendidikannya tidak begitu kuat,
mengingat mereka tidak memiliki dasar ilmu pendidikan Islam pada tingkat
menengah pertama dan tingkat menengah atas.
E. Penutup
Berdasarkan
uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan
penutup sebagai berikut:
Pertama,
bahwa guru merupakan komponen atau unsur pendidikan yang paling utama
dibandingkan dengan komponen atau unsur pendidikan lainnya. Seandainya komponen
atau unsur pendidikan lainnya tidak ada, seperti tidak ada sillabus atau gedung
sekolah, namun masih ada guru, maka kegiatan pendidikan akan tetap berjalan.
Kedua,
sejalan dengan posisi guru yang demikian strategis dalam kegiatan pendidikan,
maka upaya peningkatan mutu pendidikan harus dimulai dengan peningkatan mutu
guru, sebagaimana yang ditempuh oleh Pemerintah melalui program sertifikasi,
pendidikan profesi keguruan dan lain sebagainya, agar menjadi guru yang
profesional.
Ketiga,
dalam pendidikan agama Islam, seorang guru yang profesional, bukanlah hanya
sekedar memiliki empat kompetensi profesional sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang kompetensi akademik, pedagogik, kepribadian dan
sosial, melainkan juga harus memiliki misi kenabian, menjadi contoh dan teladan
yang baik, zuhud, ikhlas, pema’af, memiliki sifat penyayang dan kebapakan,
senantiasa menambah ilmu, sabar, dan memperhatikan perbedaan bakat dan minat
peserta didik.
Keempat, guna mencapai sifat-sifat tersebut, dapat ditempuh dengan cara antara lain: meningkatkan mutu pendidikan LPTK, meningkatkan mutu pendidikan profesi keguruan, memberikan wawasan tentang paradigma baru model pembelajaran (scientific approach), pelatihan guru yang mampu mengintertaint, motivator, tutor dan instruktur, kemungkinan menghidupkan kembali pendidikan keguruan sejak tingkat sekolah menengah pertama (PGA) dan menengah atas (PGAA).
Posting Komentar
Apa Tanggapan Anda?